Rabu, 27 Desember 2017

Politisi



Note: Dikutip dan diterjemahkan sesuai konteks. Kata yang didalam kurung adalah tambahan saya sendiri, sebagai penjelas.

“...Nah, mungkin ada yang sadar kalau ada hal yang tidak saya complain, Politisi. Semua orang complain tentang politisi. Everybody says they sucks. Terus kamu mikir mereka datang darimana? Turun dari langit? Pindah dari dimensi lain?


Orang tua mereka dari negara ini, tinggalnya disini, sekolahnya disini, kuliahnya disini, dan dipilih oleh orang-orang sini. This is the best we can do, folks. Itu mungkin yang terbaik yang bisa diberikan ama sistem ini. Sampah baru masuk, sampah lama keluar.

Kalau kamu (kamu disini sebuah daerah atau negara) memiliki “selfish ignorant citizen”, itu akan menciptakan “Selfish ignorant leader”. Jadi mungkin.. Mungkin bukan politisinya yang sucks, mungkin seperti.. Masyarakatnya sendiri.

Iya.. Masyarakatnya sendiri yang parah. Nih ada slogan kampanye yang bagus buat kalo ada yang mau pake. “The public sucks, fuck hope.” Karena kalau hanya orang-orang itu (politisi) saja yang disalahkan, dimana orang-orang pintar yang ada di negeri ini? Dimana orang-orang cerdas yang jujur, yang terbaik di negeri ini, yang siap untuk masuk terus memimpin jalan? Nggak ada! Semuanya ada di mall, garukin pantat, ngupil, ngeluarin kartu kredit dari dompetnya yang bagus buat bayar snickers yang kalo diinjek lampunya nyala.

Saya sendiri sudah punya solusi tentang political dilemma ini. Simpel. Ketika pemilihan, saya diam dirumah! Saya ga nge-vote, fuck them!

Ada 2 alasan. Pertama, ga ada gunanya. Negara ini sudah dibeli, dijual lagi, dibayar lagi (mungkin bagian ini dia bilang aset nya, atau hutang, atau malah negaranya sendiri) sudah bertahun tahun. Rolling manusia yang mereka lakukan setiap 5 tahun sekali? Pffft... Tidak berarti apa-apa.

Alasan kedua saya nggak voting adalah karena saya percaya kalau kita nge-vote, berarti kita tidak punya hak untuk protes. Orang-orang suka memutar balikan itu kan? Mereka bilang “Tidak vote berarti tidak punya hak untuk protes.” Justru, dimana logikanya? Kalau kamu memilih, dan mengangkat orang yang tidak jujur ini (koruptor lah atau apa), terus dia menghancurkan segalanya, itu berarti kamu bertanggung jawab dengan apa yang sudah mereka lakukan. Kamu yang menyebabkan masalah, kamu yang menyuruh mereka masuk kedalam pemerintahan, kamu nggak bisa protes. Sedangkan saya, yang nggak nge-vote, yang bahkan nggak keluar rumah saat pemilu (well saya pergi tapi bikin smiley face di kertas suaranya pake paku, lol), tidak bertanggung jawab apa-apa terhadap kondisi negara ini, punya hak untuk protes sekeras apapun terhadap kerusakan yang kamu buat (ke negara ini), yang saya tidak melakukan apapun disitu.

Ya saya tau nanti beberapa waktu kedepan bakal ada pemilihan lagi dengan calon yang kamu suka, kamu akan bersenang-senang memilih orang-orang baru dan berharap negara ini bakal langsung jadi lebih baik. Sedangkan saya akan melakukan hal yang semua orang lakukan di pagi hari. Bedanya mungkin, setelah saya selesai fap, saya punya sesuatu yang bisa saya tunjukan ke orang lain. (disini dia kayanya menggunakan sarkasme untuk bilang “mereka akan lupa ama kata-kata ini” mungkin note ini juga, lol)

Thank you very much.”

end quote.

1 komentar:

  1. Fenomena partai politik dewasa ini yang harusnya dijadikan sebagai kendaraan politik yang salah satu fungsinya untuk menyuarakan, menyampaikan, dan mewujudkan aspirasi masyarakat dengan tujuan akhirnya adalah untuk membuat masyarakat sejahtera. Malah dijadikan suatu tempat untuk merencanakan siasat-siasat keji mengenai bagaimana caranya mereka agar dengan efektif mampu menggerogoti uang masyarakat demi mengenyangkan perut buncit mereka dan memuaskan hasrat serta ambisi para "keluarga besar" mereka.

    Akibatnya kepada kaum yang berpikir adalah, kita harus dipaksa apatis dan tidak terlibat sama sekali dalam proses jalannya pemerintahan ini, dengan begitu mereka bisa dengan leluasa menentukan arah mau kemana Negara ini akan berlabuh kelak.

    BalasHapus